Dalam situasi dan kondisi tertentu kewajiban melakukan salat diberi keringanan tertentu. Misalkan saat seseorang sakit dan saat berada dalam perjalanan (safar).
Bila seseorang dalam kondisi sakit hingga tidak bisa berdiri maka ia dibolehkan melakukan salat dengan posisi duduk, sedangkan bila ia tidak mampu untuk duduk maka ia diperbolehkan salat dengan berbaring, bila dengan berbaring ia tidak mampu melakukan gerakan tertentu ia dapat melakukannya dengan isyarat.
Sedangkan bila seseorang sedang dalam perjalanan, ia diperkenankan menggabungkan (jama’) atau meringkas (qashar) salatnya. Menjamak salat berarti menggabungkan dua salat pada satu waktu yakni zuhur dengan asar atau maghrib dengan isya. Mengqasar salat berarti meringkas salat yang tadinya 4 rakaat (zuhur, asar, isya) menjadi 2 rakaat
Safar (bahasa Arab سفر) secara harfiah berarti melakukan perjalanan. Orang yang melakukan safar disebut dengan musafir.
Salat Qashar adalah melakukan salat dengan meringkas/mengurangi jumlah raka'at salat yang bersangkutan. Salat Qashar merupakan keringanan yang diberikan kepada mereka yang sedang melakukan perjalanan (safar). Adapun salat yang dapat diqashar adalah salat dzhuhur, ashar dan isya, dimana raka'at yang aslinya berjumlah 4 dikurangi/diringkas menjadi 2 raka'at saja.
Dalil Naqli Salat Qashar
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS an-Nisaa’ 101)
Dari ‘Aisyah ra berkata : “Awal diwajibkan salat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan bagi salat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi salat hadhar (tidak safar).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari ‘Aisyah ra berkata: “Diwajibkan salat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan salat safar seperti semula (2 rakaat).” (HR Bukhari) Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan : “Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah salat witir di siang hari dan salat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut.”
Siapa Yang Diperbolehkan Salat Qashar
Salat qashar merupakan salah satu keringanan yang diberikan Allah. Salat qashar hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Dan diperbolehkan melaksanakannya bersama Salat Jamak
Jarak Qashar
Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh salat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Beberapa hadits tentang jarak yang diijinkan untuk melakukan salat qashar :
Dari Yahya bin Yazid al-Hana?i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak salat Qashar. Anas menjawab: “Adalah Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau salat dua rakaat.” (HR Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar salat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan.” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf)
Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata: “Qashar salat dalam jarak perjalanan sehari semalam.”
Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar salat dan buka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu 16 farsakh.
Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km. Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar salat adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.
Tentang masafah (jarak tempuh) yang seseorang dibolehkan mengqoshor shalat, Ibnu al-Mundzir menceriterakan, bahwa ada kurang lebih 20 pendapat ulama yang berbeda-beda tentang itu (lihat Fathul Bari/ Juz III/ hal. 473/ Bab tentang في كم يقصر الصلاة ؟
Lama Waktu Qashar
Jika seseorang musafir hendak masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal disana maka dia dapat melakukan qashar dan jama’ salat. Menurut pendapat imam Malik dan Asy-Syafi’i adalah 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah melewati 4 hari ia harus melakukan salat yang sempurna. Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar salat selagi masih dalam keadaan safar.
Berkata Ibnul Qoyyim: “Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar salat.” Disebutkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: “Rasulullah SAW melaksanakan salat di sebagian safarnya 19 hari, salat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, salat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami salat dengan sempurna.”
Adab Salat Qashar
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan salat Imam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja mengqashar salatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat salatnya setelah imammya salam.
Untuk Musafir Yang Lebih Dari 4 Hari
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar salatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Dan jika Seseorang mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar salatnya.
Adab Salat Sunnah Bagi Musafir
Sunah bagi musafir untuk tidak melakukan salat sunah rawatib (salat sunah sesudah dan sebelum salat wajib), Kecuali salat witir dan Tahajjud, karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga salat- salat sunah yang ada penyebabnya seperti salat Tahiyatul Masjid, salat gerhana, dan salat janazah.
Salat Jamak yaitu salat yg dilaksanakan dengan mengumpulkan dua salat wajib dalam satu waktu, seperti salat Zuhur dengan Asar dan salat Magrib dengan salat Isya (khusus dalam perjalanan)[1]. Adapun pasangan salat yang bisa dijamak adalah salat Dzuhur dengan Ashar atau salat Maghrib dengan Isya. Salat jamak dibedakan menjadi dua tipe yakni:
- Jama' Taqdim penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan cara memajukan salat yang belum masuk waktu ke dalam salat yang telah masuk waktunya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Asar dengan salat Zuhur pada waktu salat Zuhur atau pelaksanaan salat Isya dengan salat Magrib pada waktu salat Magrib)[2].
- Jama' Ta'khir penggabungan pelaksanaan dua salat dalam satu waktu dengan cara mengundurkan salat yang sudah masuk waktu ke dalam waktu salat yang berikutnya (seperti penggabungan pelaksanaan salat Zuhur dengan salat Asar pada waktu salat Asar, atau pelaksanaan salat Magrib dengan salat Isya pada waktu salat Isya)
Syarat jamak takdim
Tertib. Apabila musafir akan melakukan jamak salat dengan jamak taqdim, maka dia harus mendahulukan salat yang punya waktu terlebih dahulu. Semisal musafir akan menjamak salat maghrib dengan shoalt isya', maka dia harus mengerjakan salat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang dikerjakan terlebih dahulu adalah salat isya', maka salat salat isya'nya tidak sah. Dan apabila dia masih mau melakukan jamak, maka harus mengulangi salat isya'nya setelah salat maghrib.
Niat jamak pada waktu salat yang pertama. Apabila musafir mau melakukan salat jamak dengan jamak taqdim, maka diharuskan niat jamak pada waktu pelaksanaan salat yang pertama. Jadi, selagi musholli masih dalam salat yang pertama (asal sebelum salam), waktu niat jamak masih ada, namun yang lebih baik, niat jamak dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram.
Muwalah (bersegera). Antara kedua salat tidak ada selang waktu yang dianggap lama. Apabila dalam jamak terdapat pemisah (renggang waktu) yang dianggap lama, seperti melakukan salat sunah, maka musholli tidak dapat melakukan jamak dan harus mengakhirkan salat yang kedua serta mengerjakannya pada waktu yang semestinya.
Masih berstatus musafir sampai selesainya salat yang kedua. Orang yang menjamak salatnya harus berstatus musafir sampai selesainya salat yang kedua. Apabila sebelum melaksanakan salat yang kedua ada niatan muqim, maka musholli tidak boleh melakukan jamak, sebab udzurnya dianggap habis dan harus mengakhirkan salat yang kedua pada waktunya
Syarat jamak ta'khir
Niat menjamak ta'khir pada waktu shalat yang pertama. Misalnya, jika waktu shalat zhuhur telah tiba, maka ia berniat akan melaksanakan shalat zhuhur tersebut nanti pada waktu ashar.
Pada saat datangnya waktu shalat yang kedua, ia masih dalam perjalanan. Misalnya, seseorang berniat akan melaksanakan shalat zhuhur pada waktu ashar. Ketika waktu ashar tiba ia masih berada dalam perjalanan. Dalam jamak ta'khir, shalat yang dijamak boleh dikerjakan tidak menurut urutan waktunya. Misalnya shalat zhuhur dan ashar, boleh dikerjakan zhuhur dahulu atau ashar dahulu. Di samping itu antara shalat yang pertama dan yang kedua tidak perlu berturut-turut (muwalat). Jadi boleh diselingi dengan perbuatan lain, misalnya shalat sunat rawatib
Pendapat dari Empat Mazhab Sunni:
Pendapat Mazhab Hanafi
Hanafi meyakini bahwa pelaksanaan men-jama' salat tidaklah memiliki kekuatan hukum, baik dalam perjalanan ataupun tidak, dengan segala macam masalah kecuali dalam dua kasus-Hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dalam berbagai kondisi tertentu.
Pendapat Mazhab Syafi'i
Syafi'i meyakini diperbolehkannya pelaksanaan men-jama' salat bagi para musafir perjalanan jauh (safar) dan saat hujan serta salju dalam kondisi tertentu. Bagi mereka, pelaksanaan men-jama' salat seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.
Pendapat Mazhab Maliki
Maliki menganggap alasan untuk melaksanakan men-jama' salat sebagai berikut: sakit, hujan, berlumpur, keadaan gelap pada akhir bulan purnama dan pada Hari Arafah serta Malam Muzdalifah untuk yang sedang melaksanakan haji dalam kondisi tertentu.
Pendapat Mazhab Hambali
Hambali memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat saat Hari Arafah dan Malam Muzdalifah dan bagi para musafir, pasien-pasien, ibu menyusui, wanita dengan haid berlebihan, orang yang terus-menerus buang air kecil, orang yang tidak dapat membersihkan dirinya sendiri, orang yang tidak dapat membedakan waktu, dan orang yang takut kehilangan barang kepemilikannya, kesehatannya atau reputasinya dan juga dalam kondisi hujan, salju, dingin, berawan dan berlumpur. Mereka juga menyebutkan beberapa kondisi lainnya.
Pendapat Perawi Hadits lainnya
Pendapat Ibnu Syabramah
Ibnu Syabramah memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat karena beberapa alasan dan bahkan tanpa kondisi khusus selama hal tersebut tidak berubah menjadi suatu kebiasaan.
Pendapat Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin
Ibnu Mundzir dan Ibnu Sirin, menurut Qaffal, memperbolehkan pelaksanaan men-jama' salat dalam segala kondisi tanpa syarat apapun.
Dalil yang memperkuat adalah:
Dari Muadz bin Jabal: “Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat maka menjama’ salat antara Dzuhur dan Asar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan salat dzuhur sampai berhenti untuk salat Asar. Dan pada waktu salat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari tenggelam maka mengakhirkan waktu salat Maghrib sampai berhenti untuk salat ‘Isya, kemudian menjama’ keduanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Menurut Pendapat Syi'ah
Mazhab Syi'ah seperti Dua Belas Imam berpendapat bahwa setiap orang walaupun tidak dalam perjalanan jauh, berdiam di rumahnya, tidak berada dalam keadaan sakit, dapat menjama' salat, baik jama' taqdim maupun jama' ta'khir. Dalil yang memperkuat hal tersebut adalah:
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al-Israa' [17]:78)
Dalil-dalil lain yang memperkuat hal ini ada dalam Ringkasan Shahih Muslim, Kitab Salat Musafir, Bab 6: Menjamak Dua Salat ketika Bermukim (Di Rumah, Tidak Bepergian);
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah pernah menjama' salat Dzuhur dan salat Ashar, dan menjama' Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena khauf (sedang berperang) dan bukan karena hujan."
Menurut hadits Waki', dia berkata, "Aku tanyakan kepada Ibnu Abbas, 'Mengapa beliau melakukan hal itu?" Ibnu Abbas menjawab, 'Agar beliau tidak menyulitkan umatnya.'"
Menurut hadits Mu'awiyah, ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa maksud Nabi berbuat demikian?" Dia menjawab, "Beliau bermaksud tidak menyulitkan umatnya." (Muslim 2/152)